Kamis, 13 November 2008

Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural

Pendahuluan
Dalam tulisan saya , telah saya bahas dan tunjukkan bahwa citacita
reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara
membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang
dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil
demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan
yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat
yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi
yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi
atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural
Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak "masyarakat
majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka
tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi
keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah
multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan
dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary
dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat
(termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah
kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah
mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang
lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai
kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model
multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa
Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa,
sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi:
"kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah".
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang
multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila: (1) Konsep multikulturalisme
menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan
bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi
pedoman hidupnya; (2) Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai makna
multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan (3) Upayaupaya
yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.

Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk
mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia
masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing. Saya kira perlu adanya
tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai
multikulturalisme di media massa daripada yang sudah ada selama ini. Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara
sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas
berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi,
keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya
komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu
produktivitas.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah
Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya
mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen.
Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut
digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau
dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan
minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an.
Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh
orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna di tempat-tempat umum,
perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih
efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang
tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka
dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai
bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).
Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan
mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan
dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau
Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong
minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang diedit
oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah
yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan
cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan
pendidikan di sekolah-sekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan
berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan
bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau
Glazer (1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists now' dia menyatakan apa
yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut
adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang
dilakukan sejak tahun 1970an.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus
diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan
kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang
berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme
membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep
untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam
kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan
landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan
mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai
perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan
pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai
konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan
dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat,
sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapanungkapan
budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsepkonsep
lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002)..

Pemahaman Tentang Multikulturalisme

Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara
para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu
konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahliahli
lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau
wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep
kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Saya
melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai
pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk
kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional
melalui pranata-pranata sosial.
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi
yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam
kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai
kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak
kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumbersumber
daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan
dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara bagi Indonesia.
Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajiankajian
mengenai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari
kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila
perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam
sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap
dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai
budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji. Kajian seperti ini
juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada
dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses
masukan (in-put) menjadi keluaran.(out-put). Apakah memang ada pedoman etika
dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman
etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang
betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari
pengamatan umum)?
Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber
daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam
masyarakat. Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan
sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita,
bangsa Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke
dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah
karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang
kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan
menjamin mutu yang dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap
dan mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang
berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manajemen
sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan
pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut
dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.
Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai 'Pedoman yang berisikan
aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang
di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung
dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai
dengan hak dan kewajibannya. Sehingga peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan
adalah fungsional dalam memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens
2001, Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang lingkup luas, dalam masyarakat-masyarakat
maju, kita kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan
birokrasi, dan sebagainya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat
berbagai pedoman etika yang ada atau tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau
pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya pembahasan mengenai
"Akbar Tanjung dan Etika Politik" sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M
(2002)
Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang
multikultural adalah sangat kompleks. Apakah kita para ahli antropologi sudah siap
untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di Indonesia ini juga sudah
siap untuk itu? Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada
baiknya bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut.
Pertama, apakah secara konseptual dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan
penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk
yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk
membuat semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau
kita belum mampu, sebaiknya kita persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan
diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan kita dan
mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai
ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa diperlukan,
sebaiknya pimpinan dan dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk
bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan dengan peranan antropologi
dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi. Pembicaraan para pimpinan
jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsepkonsep
serta metodologi yang sesuai dengan itu.
Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian etnografi
yang teradisional, yang bercorak butterfly collecting sebagaimana yang selama ini
mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan dosen, sebaiknya
ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan
sesuai dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang
multikultural. Penelitian etnografi yang bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya
dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan
mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan
didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang
sahih. Begitu juga kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk
mendapat respons dari respeonden atas sejumlah pertanyaan sebaiknya ditinggalkan
dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian seperti ini hanya
akan mampu menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang
diteliti, bersifat superfisial, dan menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya
dapat diungkapan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian. Pendekatan kualitatif
dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka
statistiknya, sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku
sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena
justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks
masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu juga
diperiksa tulisan Guba dan tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990)
yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang menjadi landasan utama dari
metodologi kualitatif.
Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme
dan masyarakat mulitikultural yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat
menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan bisnis,
ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan lainnya untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan
memantapkan serta menciptakan model-model penerapan multikutlralisme dalam
masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing.
Sehingga secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan
masing-masing, upaya-upaya untuk menuju masyarakat Indonesia yang multikultural itu
dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.
Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau gabungan
Jurusan Antropologi dan satu atau sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam sebuah
universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk mengorganisasi kegiatankegiatan
diskusi, seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat
dijadikan landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas
ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka konsep-konsep dan teori-teori serta metodologi
berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat multikultural, dan
perubahan serta proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan
itu semua akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.
Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan
yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan
terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan
informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi
pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan
dengan masalah multikulturalisme. Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap
sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat atau partai politik. Selanjutnya, berbagai
badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi,
seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang
akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila
mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang
berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide
tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka
merasa tidak berkepentingan untuk turut melakukan reformasi.

Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan

Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam
pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses
reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu
mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan
secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka
masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada
ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi
corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.
Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat
multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi strukturstruktur
atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam
masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut
mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam
nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan
hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan
budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal
maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya.
Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai
acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap
dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan
manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara
hukum.
Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah
nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak
menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak inginan merubah tatanan yang ada
biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan
dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya
yang ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu
harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat,
sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan.
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I.
mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah,
dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk
dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstrakurikuler
atau menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah
bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh
Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya
menyetujui dan mendukung ide tentang diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme
di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang
konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat
Suparlan 2002)
Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah multikulturalisme
sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasin akan hanya kita jadikan sebagai
wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama dalam antropologi
Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan
masyarakat Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.

Template by:
Free Blog Templates